Tidak berlebihan bila dikemukakan bahwa Ibrahim
adalah bapak para nabi atau abul anbiya’. Tidak semata dalam berdakwah bisa
menjadi teladan, juga dalam kehidupan rumah tangga. Sungguh, sosok yang
paripurna.
Nabi Ibrahim AS membina
keluarga di atas fondasi agama yang kuat, sabar dalam menghadapi ujian
keluarga, tawakal dalam menjalani kerasnya hidup, serta selalu berdoa dalam
mengatasi masalah. Bahkan dikemukakan bahwa Ibrahim AS adalah presiden rumah tangga yang
paling sukses sepanjang sejarah peradaban manusia.
Kisah hidup Ibrahim AS adalah ‘ibrah atau pelajaran bagi umat
setelahnya. Jatuh bangun, suka duka, adalah romantika yang harus dilalu. Dan
ternyata kehidupan Ibrahim AS khususnya dalam membina keluarga demikian dalam
dan sarat makna.
Coba perhatikan dengan seksama beberapa hal yang
ada dalam diri dan keluarga beliau. Kedua istrin Sarah dan Hajar melahirkan dua
nabi besar: Ishaq AS dan Ismail AS. Dari keturunan dua nabi ini lahir Nabi Isa
dan Nabi Muhammad SAW yang membawa dua agama terbesar di dunia: agama Nasrani
dan Islam.
Kedua istri beliau berhasil
menjadi al-ummu madrasatun (ibu
adalah sekolah) bagi anak-anaknya. Tentu saja, sekolah yang dimaksud bukan
dalam kriteria saat ini, tapi dalam pengertian keteladanan life skill (keterampilan hidup) sehingga mampu melahirkan anak-anak
yang demikian cerdas dan dapat dibanggakan. Bukan layaknya sekolah kekinian
yang hanya berkutat dengan target dan prestasi pelajaran, namun terkadang gagal
dalam melahirkan siswa siswi yang berkarakter.
Sarah dan Siti Hajar adalah perempuan dan ibu
ideal karena keduanya berhasil mendidik Ishaq dan Ismail yang menjadi manusia
hebat. Selain karena manusia pilihan, tapi juga berkat kegigihan, ketangguhan,
keuletan dan kesabaran dari keduanya dalam mendidik dan mengajar sehingga lahir
dan tumbuh anak-anak yang tidak semata membanggakan bagi kedua orang tua, juga
masyarakat yang demikian luas.
Kedua perempuan hebat ini juga punya andil besar
terhadap bangunan peradaban agama-agama Ibrahim di dunia. Islam di Timur, dan
Nasrani di Barat, berjaya dibandingkan dengan agama lain. Semuanya adalah
sumbangsih yang diberikan dari para ibu yang demikian membanggakan ini.
Kasih sayang dari keduanya yang ditanamkan
kepada para anak telah melahirkan perdamaian dunia. Kesinambungan peradaban
dunia karena ajaran kasih di satu sisi, dan persaingan di sisi lain yang
membuat dunia tetap penuh dinamika dan sarat dengan perjalanan yang terkadang
mengharu biru.
Keluarga Ibrahim AS
telah memberikan gambaran besar soal wajah dunia, baik dalam kehidupan pribadi,
keluarga, bangsa maupun dalam kehidupan dunia. Singkat kata, wajah dunia
sekarang adalah wajah keluarga Ibrahim AS. Suatu keluarga yang paling sukses, terkenal
dan juga keluarga yang paling diteladani oleh umat manusia di muka bumi.
Ibrahim, Sarah, Siti Hajar, Ishaq dan Ismail,
adalah keluarga kecil yang besar karena peran risalahnya dalam agama tauhid.
Keluarga yang dijadikan panutan oleh lebih dari 3,5 miliar manusia di dunia. Keluarga
Nasrani di Barat, dan keluarga Islam di Timur, sama-sama menjadi keluarga
Ibrahim AS sebagai inspirasi dan aspirasi dalam membina kehidupan keluarga
modern.
Keluarga modern
seringkali diwarna balada perceraian dan kekerasan dalam rumah tangga. Kasus
ini terjadi lantaran rumah tangga tidak mampu memberikan rasa aman dan nyaman
lagi. Rumahku surgaku, bak api jauh dari panggang. Rumahku, nerakaku adalah
kenyataan.
Keluarga modern sangat rentan, apalagi secara
ekonomi kekurangan dan termasuk penderita masalah kerawanan sosial. Sudah
pasti, keluarga seperti ini tidak sehat dalam pengertian yang luas. Kasus
nikah-cerai, hubungan tanpa status, kekerasan dalam rumah tangga, pemerkosaan,
pembunuhan, hamil di luar nikah, dan lain sebagainya, mudah dijumpai dalam
kehidupan sehari-hari.
Celakanya, kasus-kasus tersebut tidak jarang
dilakukan oleh orang yang sangat dekat dalam pertalian darah, seperti ayah dan
anak, adik kakak, paman keponakan dan seterusnya. Dengan demikian, keluarga
bukan hanya tidak lagi mampu memberikan kenyamanan, malahkan juga tidak aman.
Perempuan dan anak yang sangat rentan menjadi "korban". Padahal,
kebudayaan dan peradaban bangsa Timur menggariskan mutifungsi keluarga sebagai
sarana reproduksi, komunikasi, edukasi atau pembelajaran, advokasi yakni
pendampingan, serta sejumlah kehalangan dan penghargaan lewat ekspresi dan
apresiasi. (D Farah A)
0 Response to "Belajar dari Kiprah Bapak Para Nabi"
Post a Comment