Kombinasi nada dan irama
akan selalu menghasilkan melodi dan bunyi yang harmoni. Harmoni atau harmonis,
membawa maksud selaras, sesuai, sepadan, seimbang atau seia sekata, perpaduan
dari berbagai warna karakter yang selaras ujungnya melahirkan rangkaian
keindahan dan serasi.
Setiap
warna – baik itu primer, sekunder, tersier – mampu memberikan efek yang
berbeda-beda terhadap psikologis seseorang. Warna hitam selalu identik dengan
ketakutan, power atau kematian. Jika ia dipadukan dengan warna putih, justru
akan memberikan corak tersendiri yang bisa menghilangkan kesan suramnya.
Perpaduan hitam-putih paling suka dipakai kalangan desainer untuk menata
keramik. Lebih terkesan pas dan apik.
Kombinasi
hitam dan putih juga kerap dipakai di kalangan dunia mode. Gabungan ini
dinilai modis karena terdiri dari dua spektrum warna yang berlawanan. Itulah
yang disebut warna monokrom.
Begitu pula
dalam berumah tangga. Hanya saja, persoalan rumah tangga tidaklah dilihat hitam-putih
sebagaimana perpaduan cat atau mode. Persoalan keluarga perlu dipandang lebih
luas, dengan warna-warni laksana warna pelangi. Merah, kuning, hijau, di langit
yang biru. Ditata oleh pelukismu Agung, Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sehingga
dinamika, fluktuasi, pasang surut, yang terjadi di dalamnya dipersepsikan
menjadi romantika dan panorama kehidupan.
Allah
mensyariatkan kehidupan berkeluarga supaya kita lihai dalam merangkai suasana sakinah (ketenangan), mawaddah (kecintaan), rahmah (kasih sayang), amanah (tanggung jawab), ulfah (harmonis). Susana demikian merupakan
madrasah pertama yang sangat diperlukan untuk pertumbuhan fisik, bakat dan
mental hasil pernikahan (anak keturunan). Dan menciptakan suasana yang ideal
dalam madrasah pertama ini tidak mudah dan sederhana. Memerlukan modal
keberanian (warna merah) dan keikhlasan hati (warna putih).
"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah
Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung
dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan
sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar-Rum
(30): 21).
Seperti
itulah seharusnya rumah tangga dipandang dan dikelola. Rumah tangga merupakan perpaduan
antara berbagai warna karakter. Ada karakter pria, wanita, anak-anak, bahkan
mertua. Dan tidak ada satu pun manusia di dunia ini yang bisa menjamin bahwa
semua karakter itu serba sempurna. Pasti ada kelebihan dan kekurangan.
Dalam diri
manusia, disamping memiliki nalar juga mempunyai naluri. Disamping ada sisi
gelap pula ada sisi terang. Ada tarikan jasmani dan ada tarikan ruhani. Nah, di
situlah letak keharmonisan. Tidak akan terbentuk irama yang indah tanpa adanya
keharmonisan antara nada rendah dan tinggi. Tinggi rendah nada ternyata mampu
melahirkan berjuta-juta lagu yang indah.
Dalam rumah
tangga, segala kekurangan dan kelebihan saling berpadu. Kadang pihak suami yang
bernada rendah, kadang isteri bernada tinggi. Kadang suami berada di atas, istri
di bawah. Bisa juga bervariasi, istri di atas, suami di bawah. Di sinilah
suami-istri dituntut untuk menciptakan keharmonisan dengan mengisi kekosongan
yang ada di antara mereka.
Jangan
pernah mengungkit alasan saat awal menikah. “Kenapa saya waktu itu mau menerima
aja, ya? Kenapa nggak saya tolak?” Mengapa tidak
memberikan sederet persyaratan saat khitbah
(lamaran) ? Buang jauh-jauh lintasan pikiran ini. Langkah itu sama sekali tidak
akan menghasilkan perubahan. Tidak produktif. Justru, akan menyeret
disharmonisasi yang bermula dari masalah sepele, sederhana, mudah, menjadi
pelik dan kusut. Jika rasa penyesalan berlarut, tidak tertutup kemungkinan
ketidakharmonisan berujung pada perceraian.
Sekalipun
bercerai itu memiliki landasan syar’i,
sesungguhnya ia perbuatan halal yang dibenci oleh Allah. Bukankah dengan
berpisahnya dua orang yang semula saling mencintai, ada yang dirugikan. Yaitu,
anak-anak akan menjadi korban.
Pengorbanan
yang diungkit-ungkit dengan menyebut dan menyakiti yang lain, hanya melahirkan
kesia-siaan belaka. Karena itu, hadapilah kenyataan yang saat ini kita
hadapi dengan sikap realistis. Inilah masalah kita. Jangan lari dari masalah
dengan melongkok ke belakang. Atau, na’udzubillah,
membayangkan sosok lain di luar pasangan kita. Hal ini akan membuka pintu setan
sehingga kian meracuni pikiran kita. Kita jangan menempatkan diri sebagai
bagian dari masalah. Tetapi meletakkan diri sebagai bagian dari solusi. (D Farah A)
0 Response to "Menikah: Memadukan Irama dalam Lagu Kehidupan"
Post a Comment