Banyak
yang tergiur menjadi pejabat atau pegawai negeri sipil. Untuk bisa merengkuh
status tersebut tidak jarang yang rela mengeluarkan biaya puluhan bahkan hingga
ratusan juta. Yang penting menjadi pejabat atau pegawai. Soal bagaimana
nantinya saat melayani masyarakat, itu tidak pernah ada di pikiran.
Untuk
bisa menjadi wakil rakyat, berapa ratus juta biaya yang harus dikeluarkan
anggota DPR? Antrian panjang para peminat PNS serta wakil rakyat sehingga rela
mengeluarkan uang pelicin. Bila banyak biaya yang dikeluarkan, bisakah mereka
menjadi pelayan yang tulus? Menerima tugas dengan penuh pengabdian? Rasanya
jauh panggang daripada api.
Sejenak
marikita kenang nama salah seorang sahabat yang pernah menjadi pemimpin. Menyebut
nama Umar bin al-Khattab, nalar kita begitu reflek membayangkan sosok pemimpin
tegas, adil, dan karismatik. Ditambah perawakannya yang tinggi-besar dan
bersuara lantang, menjadikan figurnya seolah pemimpin di kisah dongeng yang
begitu ideal. Ya, amirul mukminin ini
memang seorang yang adil. Dia tegas dan berhasil memakmurkan rakyat.
Kita
bersyukur banyak yang mencintai sosok Umar. Anas bin Malik pernah berkata, “Aku
mencintai Nabi Muhammad, mencintai Abu Bakar, dan mencintai Umar. Aku berharap
bisa bersama dengan mereka (di hari kiamat) lantaran kecintaanku pada mereka,
walaupun aku tidak bisa beramal seperti amalan mereka.” (HR. Bukhari, No.
3688).
Takut
Telantarkan Rakyat
Muawiyah
bin Hudaij datang menemui Umar
setelah penaklukkan Iskandariyah. Lalu ia mengistirahatkan hewan tunggannya.
Kemudian keluarlah seorang budak wanita menghidangkan roti, zaitun, dan kurma.
Umar pun menyantap hidangan tersebut.
Kemudian
ia berkata, “Wahai Muawiyah, apa yang engkau katakan tadi ketika engkau mampir
di masjid?” “Aku katakan bahwa amirul mukminin
sedang tidur siang,” jawab Muawiyah. Umar berkata, “Buruk sekali apa yang
engkau ucapkan dan alangkah jeleknya apa yang engkau sangkakan. Kalau aku tidur
di siang hari, maka aku menelantarkan rakyatku. Dan jika aku tidur di malam
hari, aku menyia-nyiakan diriku sendiri (tidak shalat malam). Bagaimana bisa
tertidur pada dua keadaan ini wahai Muawiyah?”
Umar
berkata, “Jika ada seekor onta mati karena disia-siakan tidak terurus, aku
takut Allah memintai pertangung-jawaban karena hal itu.” Karena onta tersebut
berada di wilayah kekuasaannya, Umar yakin ia bertanggung jawab atas
keberlangsungan hidupnya. Ketika onta mati sia-sia; karena kelaparan, atau
tertabrak kendaraan, atau terjerembab di jalanan lantaran fasilitas buruk, Umar
khawatir Allah akan memintai pertanggung-jawaban nanti di hari kiamat.
Pada
saat haji terakhir yang ditunaikan, Umar RA
duduk bersimpuh kemudian mengangkat tinggi kedua tangannya ke arah langit
sembari berucap, “Ya Allah, sungguh usiaku telah menua dan ragaku kian melemah,
sementara rakyaku semakin banyak (karena luasnya wilayah Islam pen.), cabutlah
nyawaku dalam keadaan tidak disia-siakan.”
Kini,
kita mengenal blusukan sebagai ciri pimpinan peduli. Umar telah melakukannya
sejak dulu dengan ketulusan hati. Abdullah bin Abbas RA mengatakan, “Setiap kali shalat,
Umar senantiasa duduk bersama rakyatnya. Siapa yang mengadukan suatu keperluan,
maka ia segera meneliti keadaannya. Ia terbiasa duduk sehabis Shalat Shubuh
hingga matahari mulai naik, melihat keperluan rakyatnya. Setelah itu baru ia
kembali ke rumah.”
Terkadang, Umar juga mengadakan kunjungan langsung. Melihat sendiri
keadaan rakyat di bawah kepengurusan gubernurnya. Umar memenuhi kebutuhan
mereka. Hingga ia berkeinginan para janda merasa cukup dengan bantuannya
sehingga tidak butuh kepada laki-laki lain. (s@if)
0 Response to "Menjadi Pelayan Rakyat atau Cukup sebagai Rakyat Jelata?"
Post a Comment