Mengapa perempuan menikah di usia yang masih belia? Ada banyak faktor yang
menjadi penyebabnya. Berikut hal yang
harus diperhatikan.
Siti Muslihah (17) duduk melantai di beranda rumah sambil menimang Vina (5 bulan). Sekilas, keduanya seperti kakak dan adik yang sedang bercengkerama. Padahal, Lili, panggilan akrab Siti Muslihah, adalah ibu dari bayi perempuan yang dia pangku. Pemandangan seperti ini lumrah di Cirebon, Jawa Barat.
Lili lahir dan mengenyam pendidikan menengah pertamanya di Jakarta, tepatnya di kawasan Pulogadung. Setamat dari madrasah tsanawiyah, ia dimasukkan ke pesantren tradisional di Kabupaten Kuningan, Jabar, oleh orangtuanya.
Menjelang usia 17 tahun, Lili dinikahkan dengan Syamsudin (31), guru mengaji dari Benda Kerep, Kelurahan Argasunya, Kabupaten Cirebon. Dusun itu adalah kampung halaman orangtua Lili. Syamsudin masih terbilang kerabatnya.
"Saya sudah menempuh pendidikan di pesantren. Sudah mandiri, bisa masak, dan mencuci sendiri. Jadi, sudah siap nikah," kata Lili ketika ditemui di dusun itu, Sabtu (16/4).
Jika kelahiran RA Kartini pada 21 April 1879 dijadikan sebagai tonggak bangkitnya emansipasi perempuan di Tanah Air, berkaca pada pernikahan dini itu, emansipasi yang dimaksud masih sebatas impian.
Benda Kerep merupakan komunitas pesantren tradisional. Mayoritas warga tinggal dan menempuh pendidikan di pesantren itu. Umumnya mereka menempuh pendidikan formal hingga SMP saja. Setelah itu, mereka masuk pesantren. Di sana, mereka mengurus diri sendiri. Ini dianggap sebagai proses memandirikan dan menyiapkan remaja putri itu menuju jenjang pernikahan.
Kepala Posyandu Benda Kerep Uswatun Hasanah menjelaskan, di wilayah itu terdapat 561 keluarga. Sekitar 80 persen perempuan setempat menikah pada usia 16-18 tahun.
Muhtadi, suami Uswatun, yang juga tokoh masyarakat setempat, menuturkan, jika seorang remaja perempuan sudah dilirik pria, itu pertanda bagus.
"Kalau anak perempuan berumur 17 tahun sudah ada yang meminang dan dia pun sreg kepada peminangnya, orangtua harus segera menikahkan. Pemali menolak jodoh," tutur Muhtadi. Di dusun itu, perempuan yang masih lajang pada usia lebih dari 21 tahun dicap sebagai "perawan tua". Sebutan itu ibarat momok bagi orangtua.
Marak
Pembina Institut Sofi, lembaga swadaya masyarakat yang memberikan penyuluhan sosial, pendidikan, dan kesehatan kepada anak-anak muda di Cirebon, Faridah Mahri, menjabarkan maraknya pernikahan remaja di daerah itu.
Di wilayah kampung nelayan umumnya pernikahan dilakukan karena orangtua tidak sanggup membiayai hidup anak-anaknya. Anak perempuan harus cepat dinikahkan agar selanjutnya menjadi tanggungan suami.
Juga ada pernikahan dini dengan alasan mengamalkan adat istiadat, terlepas dari kondisi ekonomi keluarga yang sebenarnya mampu untuk membiayai pendidikan anak.
"Yang kerap ditemukan kini ialah pernikahan dini akibat kehamilan tidak direncanakan," ujar Faridah. Ia mengakui belum ada pendataan yang lengkap mengenai kepastian angkanya.
Menikahkan remaja yang hamil karena pergaulan bebas dianggap sebagai jalan keluar yang tepat untuk melindungi martabat keluarga.
Kisah ini dialami W (20), warga Desa Mertasinga. Empat tahun lalu, ketika duduk di kelas II SMP, W berbadan dua. Oleh keluarga, ia langsung dinikahkan dengan remaja pria yang menabur benih di rahimnya. Hal itu dilakukan agar ketika bayi itu lahir, di akta kelahirannya tertera nama ayah dan ibu, bukan hanya nama ibu.
Belum genap setahun, pernikahan itu kandas. Suami W pergi dan tak pernah kembali. Kini, W dan putrinya, I (4), tinggal dengan kedua orangtuanya yang bekerja sebagai buruh pengupas kulit rajungan. Keempat kakaknya bekerja sebagai nelayan. Adapun W, karena tak melanjutkan sekolah, bertugas membersihkan rumah dan memasak.
Pernikahan itu meninggalkan trauma bagi W. Air matanya berlinang setiap kisah itu diungkit. Putus sekolah mengakibatkan dia tak punya keterampilan untuk menopang hidupnya. "Penginnya bisa cari duit, tetapi enggak tahu caranya," tuturnya.
Di luar bertambahnya beban "domestik", sederet risiko lain juga mengancam bagi remaja yang menikah di usia dini. Dokter spesialis anak yang mengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan, Fransisca, menyebutkan beberapa risiko bagi anak perempuan menikah dini atau terlalu muda.
Pertama, berisiko mengalami gangguan jiwa akibat stres. Pernikahan membutuhkan kemampuan pengelolaan rumah tangga yang matang, bijak, dan rasional. Pada usia remaja, mental masih labil sehingga belum mampu berpikir dewasa.
"Saat menghadapi masalah, karena terlalu emosional dan tidak memiliki banyak perspektif, bisa menjurus stres," jelas Fransisca.
Kedua, rawan tertular penyakit seksual. Organ seksual remaja belum sepenuhnya sempurna dan amat sensitif. Jika remaja perempuan aktif secara seksual, organ seksualnya mudah terluka dan meradang. Ini mengakibatkan berbagai kuman penyakit mudah menginfeksi. Misalnya, hepatitis B dan human papilloma virus yang berakibat kanker leher rahim.
Fransisca menambahkan, dalam proses kehamilan, terjadi perebutan nutrisi antara remaja hamil dan janin yang ia kandung. Akibatnya, kedua belah pihak mengalami kekurangan gizi dan kualitas bayi yang kelak dilahirkan di bawah normal.
Artinya, generasi yang dilahirkannya pun rawan dalam masa tumbuh kembang.
Untungnya, di Desa Mertasinga, warga mulai tersadar dengan kasus menikah dini akibat kehamilan tidak direncanakan itu. Warga sekarang menggalakkan keluarga berencana (KB). Pada 2015, Mertasinga dijadikan "Kampung KB", proyek percontohan bagi desa-desa lain.
Di samping menyasar keluarga pasangan usia subur, penyuluhan seputar kesehatan reproduksi juga turut ditujukan kepada kaum remaja.
Sumber: Kompas
0 Response to "Bila Perempuan Remaja sudah Berkeluarga"
Post a Comment