Islam
mengajarkan bahwa semangat menimba ilmu hendaknya dilakukan dari buaian ibu
hingg ke liang lahat. Jangan ada kata menyerah demi masa depan yang lebih baik.
Termasuk semangatnya para kakek nenek ini mengikuti Ujian Nasional (UN).
Tak ada kata
terlambat untuk menuntut ilmu. Mungkin itulah ungkapan yang cocok melekat bagi
siapa saja yang tengah bersemangat untuk menimba ilmu.
Ungkapan itu juga cocok
disematkan bagi Zainal, seorang kakek berusia 58 tahun di Pekanbaru dan Sumini,
nenek berusia 60 tahun di Jakarta. Keduanya begitu bersemangat menuntut ilmu,
mengikuti ujian nasional paket C untuk menaikkan jenjang pendidikan mereka ke
yang lebih tinggi lagi.
Zainal,
kakek bercucu 5 orang ini menjadi pesarta ujian kessetaraan Paket C di SMK
Negeri 2, Kota Pekanbaru, Provinsi Riau. Ia menjadi salah seorang dari 1.363
peserta ujian Paket C atau setara dengan sekolah menengah atas (SMA) sederajat
di Kota Pekanbaru.
Datang
dengan mengenakan pakaian putih bercelana hitam kain lengkap dengan kopiah
putih, terlihat serius menyelesaikan soal ujian Matematika.
"Lumayan
susah juga soal-soalnya, tapi Insya Allah bisa. Saya kan sudah belajar sudah
lama, setiap Jumat sampai Minggu," ucap Zainal usai mengikuti Ujian
Nasional, Selasa (5 Aapril 2016) lalu.
Zainal
mengikuti ujian tersebut untuk menunjukkan kepada anak-anaknya bahwa dirinya
juga bisa mendapatkan ijazah SMA.
"Saya
kan tidak mau terus bergantung ke anak-anak," tutur Kakek Zainal.
Dengan bangga
Zainal berkisah meskipun dia baru mengikuti ujian Paket C, namun anak-anaknya
terbilang cukup sukses dengan menjadi Dokter, perawat, dan guru di pesantren.
Baginya memiliki ijazah kesetaraan bukan semata soal pengakuan dari
anak-anaknya, namun juga untuk lebih mandiri ke depan.
Motivasi
lainnya, lanjut Zainal, lantaran ia ingin mencalonkan diri menjadi kepala desa
di tempat dia tinggal. Menjadi kepala desa juga membutuhkan kemampuan ilmu
pengetahuan sehingga dirinya nekad menempuh ujian yang diselenggarakan setiap
setahun sekali itu.
Pria
yang kesehariannya berkebun itu mengatakan bukan penduduk Kota Pekanbaru,
melainkan berasal dari Kecamatan Bantan, Kabupaten Bengkalis. Jarak Bengkalis
ke Ibu kota Provinsi Riau, Pekanbaru sekitar lima jam perjalanan darat.
Saat
ditanyakan kenapa tidak mengambil paket C di tempat dia berasal, kakek yang
murah senyum itu mengatakan lebih puas sistem belajar dan ujian yang
dilaksanakan di Pekanbaru.
"Kalau
di sini kita belajar dapat rapor, jadi tau bagaimana hasilnya setiap
waktu," ujarnya seperti dilansir dari Antara.
Zainal
berpesan kepada seluruh generasi muda Indonesia yang belum menyadari pentingnya
pendidikan agar malu kepada orang-orang berumur seperti dirinya.
"Jangan
malu belajar, karena belajar itu tidak ada batas umur," ucap Zainal.
Lain
Zainal, lain pula nenek Sumini. Meski sudah berusia senja, perempuan yang
sehari-hari menjadi tenaga pengajar di Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) ini
masih bersemangat memperbaiki kelas pendidikannya.
Ia berambisi
tahun ini bisa mengantongi ijazah SMA, sehingga nantinya bisa melanjutkan lagi
ke jenjang yang lebih tinggi.
"Saya
kan ngajar di PAUD, jadi pendidikan harus disetarakan. Kalau ada umur dan
rezekinya saya mau disekolahin ke S1," tutur Sumini.
Sumini pun menceritakan
kisahnya mulai dari lulus SMP di Purworedjo, Jawa Tengah hingga akhirnya hijrah
ke Jakarta.
Uniknya,
niat awal hijrah ke Jakarta Sumini hendak melanjutkan pendidikannya ke jenjang
SMA. Namun, takdir berkata lain. Tak lama hidup di ibu kota, Sumini
dipersunting seorang laki-laki.
"Saya
dulu sekolah cuma sampai SMP di Purworejo tahun 1973 sebelum ke Jakarta.
Pengennya lanjutin sekolah di Jakarta tapi saya langsung menikah," kenang
Sumini.
Meski
sudah memiliki 3 orang cucu, Sumini mengaku tidak malu untuk belajar laiknya
siswa sekolah SMA lainnya. Sumini yang tergabung dalam Pusat Kegiatan Belajar
Mengajar (PKBM) Negeri 11 Manggarai Jakarta ini tetap percaya diri saat
melaksanakan persiapan menjelang ujian paket C.
"Saya
belajarnya enggak lama, sebulan. Itu juga kadang suka enggak ikut karena ada
kegiatan di PKK," cerita Sumini.
Meski
terdaftar di PKBM Negeri, Sumini tetap harus mengeluarkan biaya Rp. 1,5 juta.
Sejumlah uang tersebut dibayarkan untuk biaya belajar dan ujian paket C.
"Iya
bayar segitu untuk belajar sama biaya ujian ini," kata dia.
Semangat
menuntut ilmu yang dimiliki pun didukung oleh anak-anaknya. Selama ujian
berlangsung, Sumini selalu diantar-jemput oleh anak sulungnya dengan
menggunakan sepeda motor.
Ibu 5
anak ini mengaku pernah mengikuti ujian yang sama pada tahun 2014. Namun, ia
gagal lantaran nilainya saat itu hanya kurang 0,1 dari standar kelulusan yang
ditetapkan.
"Pernah
ikut tahun 2014 cuma gagal padahal nilainya kurang 0,1," cerita Sumini.
Meski
demikian, Sumini tidak patah semangat untuk mendapatkan ijazah setara SMA. Ia
berharap, jika tahun ini lulus, ia akan mengurus beasiswa Pemerintah Kota
Jakarta Selatan untuk melanjutkan pendidikan S1.
"Ya
harapannya bisa lulus ujian tahun ini. Jadi bisa ikutan beasiswa S1 Paud,"
tutup Sumini.
Sumber: Merdeka
0 Response to "Mereka Ikut UN Walau Berstatus Kakek dan Nenek"
Post a Comment