Dengan alasan
kebebasan mengeluarkan pendapat dan berekspresi, sejumlah kalangan telah menggunakan
media sosial (Medsos) serta media lain untuk menebar kebencian dan penistaan
agama. Penanganan secara hukum lebih elegan agar kejadian seperti ini tidak
terulang.
Menteri Agama Lukman
Hakim Saifuddin menegaskan bahwa kebebasan berpendapat tidak boleh digunakan
sebagai dalih pembenar untuk setiap tindakan menyebar kebencian dan menistakan
agama.
Karenanya, Menag meminta aparat mengambil tindakan hukum tegas terhadap pengelola akun media sosial dan penerbitan media yang menyebarkan kebencian dan penistaan agama.
"Pemilik akun media sosial dan pihak yang memproduksi dan menyebar penistaan agama harus diproses hukum. Langkah ini lebih produktif ketimbang aksi kekerasan seperti yang terjadi di Prancis pasca terbitnya karikatur Nabi Muhammad di suratkabar Charlie Hebdo," tegas Menag dalam keterangan pers Kemenag, Minggu (3 April 2016).
Sebuah komik satir bernama Charlie Heboh beredar di jejaring sosial. Dari laman facebook Charlie Heboh yang diunggah perdana pada Jumat 1 April 2016, diketahui bahwa edisi perdana komik Charlie Heboh menampilkan gambar seorang pria berjanggut terlihat sedang memperkosa seorang anak kecil yang disimbolkan dengan perempuan berambut kepang lengkap dengan tas sekolah dan sebuah boneka.
"Ana cuma menjalankan sunnah nabi," ucap pria yang ditampilkan dalam laman sampul Charlie Heboh tersebut.
Gambar ilustrasi pelecehan seksual itu, secara jelas terpampang dengan latar warna kuning dan tulisan berupa 'Sunnah' yang dituliskan sebanyak tiga kali.
Belum diketahui persis di mana komik ini beredar dan diproduksi. Namun pemilik akun Charlie Heboh mengaku baru mengedarkannya di Jakarta.
Menag menilai penegakan hukum lebih mencerminkan bahwa masyarakat Indonesia mampu bersikap dewasa menghadapi provokasi penistaan agama oleh pihak manapun. Hal itu juga selaras dengan ajaran Islam yang mengutamakan cara produktif ketimbang reaktif dalam merespon sesuatu.
"Protes dan bantahan untuk setiap tindakan penistaan perlu dilakukan dengan cara yang baik dan elegan," katanya.
Menag mengaku masih berprasangka bahwa pembuatan dan penyebaran karikatur yang sensitif agama adalah kesalahan fatal dalam memahami kebebasan berpendapat, bukan upaya sengaja untuk membuat gara-gara yang memancing keributan lewat isu agama.
"Namun demikian, saya minta aparat keamanan dapat segera menemukan produsen konten tersebut, dan melakukan penindakan hukum yang tegas," tandasnya.
Karenanya, Menag meminta aparat mengambil tindakan hukum tegas terhadap pengelola akun media sosial dan penerbitan media yang menyebarkan kebencian dan penistaan agama.
"Pemilik akun media sosial dan pihak yang memproduksi dan menyebar penistaan agama harus diproses hukum. Langkah ini lebih produktif ketimbang aksi kekerasan seperti yang terjadi di Prancis pasca terbitnya karikatur Nabi Muhammad di suratkabar Charlie Hebdo," tegas Menag dalam keterangan pers Kemenag, Minggu (3 April 2016).
Sebuah komik satir bernama Charlie Heboh beredar di jejaring sosial. Dari laman facebook Charlie Heboh yang diunggah perdana pada Jumat 1 April 2016, diketahui bahwa edisi perdana komik Charlie Heboh menampilkan gambar seorang pria berjanggut terlihat sedang memperkosa seorang anak kecil yang disimbolkan dengan perempuan berambut kepang lengkap dengan tas sekolah dan sebuah boneka.
"Ana cuma menjalankan sunnah nabi," ucap pria yang ditampilkan dalam laman sampul Charlie Heboh tersebut.
Gambar ilustrasi pelecehan seksual itu, secara jelas terpampang dengan latar warna kuning dan tulisan berupa 'Sunnah' yang dituliskan sebanyak tiga kali.
Belum diketahui persis di mana komik ini beredar dan diproduksi. Namun pemilik akun Charlie Heboh mengaku baru mengedarkannya di Jakarta.
Menag menilai penegakan hukum lebih mencerminkan bahwa masyarakat Indonesia mampu bersikap dewasa menghadapi provokasi penistaan agama oleh pihak manapun. Hal itu juga selaras dengan ajaran Islam yang mengutamakan cara produktif ketimbang reaktif dalam merespon sesuatu.
"Protes dan bantahan untuk setiap tindakan penistaan perlu dilakukan dengan cara yang baik dan elegan," katanya.
Menag mengaku masih berprasangka bahwa pembuatan dan penyebaran karikatur yang sensitif agama adalah kesalahan fatal dalam memahami kebebasan berpendapat, bukan upaya sengaja untuk membuat gara-gara yang memancing keributan lewat isu agama.
"Namun demikian, saya minta aparat keamanan dapat segera menemukan produsen konten tersebut, dan melakukan penindakan hukum yang tegas," tandasnya.
Sumber: Antara
0 Response to "Proses Hukum Akun Medsos dan Media yang Melakukan Penistaan Agama"
Post a Comment