Media memiliki peran besar bagi sarana
untuk mendidik masyarakat, dalam hal ini para pemirsa. Namun sangat
disayangkan, banyak acara dan program televisi yang ternyata tidak layak untuk
ditonton.
Komisi Penyiaran Indonesia Daerah
(KPID) Jawa Barat mencatat ada sebanyak 364 tayangan program siaran televisi
yang tidak layak ditonton oleh masyarakat sepanjang 2015. Program televisi itu
didominasi oleh jenis sinetron dan berita yang menampilkan kekerasan.
"Sementara untuk aduan warga mencapai 328 laporan," ujar Ketua KPID Jawa Barat Dedeh Fardiah, saat ditemui wartawan di acara Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) Peduli, di SDN Sukapura, Cibiru, Kota Bandung, Selasa, 12 April 2016.
Dedeh menilai tayangan tersebut dapat berdampak negatif terhadap masyarakat pada umumnya dan khususnya pada anak-anak. Apalagi, kata dia, program itu ditayangkan pada jam tayang utama di mana waktu itu dipastikan ditonton oleh kebanyakan anak-anak. "Untuk tayangan berita berbau kekerasan masih jadi catatan kami, seperti sorotan wajah dengan penuh luka lebam, dan siarannya yang diulang-ulang," katanya.
Selain tayangan berita berbau kekerasan, untuk program siaran infotainment dan sinetron pun banyak yang tidak layak. Menurut Dedeh, program sinetron yang lebih banyak mengekspos kemewahan kehidupan para artis akan berdampak pada kesenjangan sosial dan mengganggu kesehatan masyarakat. "Sorotan infotainment yang memberitakan kehidupan mewah para artis juga sebaiknya dihindari karena bisa memberi efek jelek," ucapnya.
Menurut Dedeh, KPID Jawa Barat pun tengah menggalakkan pendekatan kultural kepada masyarakat Jawa Barat guna bisa membangun kesadaran dalam memilah dan memilih tontonan yang layak atau tidak layak dikonsumsi. "Selain menjadi perhatian pihak media atau televisi, warga tentunya sudah harus cerdas memilah dan memilih tayangan. Sehingga dengan kesadaran yang tinggi, mereka tak serta-merta melahap mentah-mentah tayangan televisi, khususnya untuk orang tua," ujarnya.
Pakar media massa Universitas Islam Sunan Gunung Djati, Bandung, Asep Saeful Muhtadi, mengatakan perlu adanya sinergi antara media, KPID, dan pemerintah guna mengentaskan masalah tersebut. Membangun kesadaran masyarakat, kata dia, bukan perkara mudah. Namun, dengan adanya sinergi dari stakeholder itu, kesadaran masyarakat dalam melakukan proses seleksi pemilahan tontonan yang layak atau tidak akan menjadi suatu keniscayaan.
"Media, bagaimanapun, harus berpikir komersial. Tidak mungkin-lah kalau tidak berpikir komersial, tapi di satu sisi pun harus bisa menyuguhkan sesuatu yang berkualitas. Karena itu, media bisa merancang yang marketable di satu sisi, tapi tetap memperhatikan aspek-aspek kearifan lokal dan memperhatikan dimensi etis pada masyarakat," katanya.
Sebetulnya, kata Asep, KPID berhak mengeluarkan regulasi yang mengatur masalah tontonan yang layak atau tidak layak dikonsumsi masyarakat. Namun pintu dialog tetap terbuka agar tidak ada salah satu pihak yang dirugikan. "Caranya harus tetap demokratis, tidak seperti ketika masa Orde Baru, asal main bredel saja," ucap Samuh—panggilan akrab Asep.
Urusan layak atau tidak layak dikonsumsi masyarakat pun, kata Samuh, setidaknya harus tetap berlandaskan pada dua hal, yakni aspek etika yang sesuai dengan norma yang berlaku dan tetap mempertahankan aspek sosiologisnya.
"Salah satunya media itu berfungsi mendidik, media apa pun itu memiliki peran untuk mendidik masyarakat. Mendidik juga itu tidak bisa asal mendidik, tapi harus mengedepankan kearifan lokal salah satunya," katanya. "Kearifan lokal itu salah satunya yang harus menjadi perekat antara peran mendidik bagi kepentingan masyarakat dan kepentingan media," katanya.
"Sementara untuk aduan warga mencapai 328 laporan," ujar Ketua KPID Jawa Barat Dedeh Fardiah, saat ditemui wartawan di acara Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) Peduli, di SDN Sukapura, Cibiru, Kota Bandung, Selasa, 12 April 2016.
Dedeh menilai tayangan tersebut dapat berdampak negatif terhadap masyarakat pada umumnya dan khususnya pada anak-anak. Apalagi, kata dia, program itu ditayangkan pada jam tayang utama di mana waktu itu dipastikan ditonton oleh kebanyakan anak-anak. "Untuk tayangan berita berbau kekerasan masih jadi catatan kami, seperti sorotan wajah dengan penuh luka lebam, dan siarannya yang diulang-ulang," katanya.
Selain tayangan berita berbau kekerasan, untuk program siaran infotainment dan sinetron pun banyak yang tidak layak. Menurut Dedeh, program sinetron yang lebih banyak mengekspos kemewahan kehidupan para artis akan berdampak pada kesenjangan sosial dan mengganggu kesehatan masyarakat. "Sorotan infotainment yang memberitakan kehidupan mewah para artis juga sebaiknya dihindari karena bisa memberi efek jelek," ucapnya.
Menurut Dedeh, KPID Jawa Barat pun tengah menggalakkan pendekatan kultural kepada masyarakat Jawa Barat guna bisa membangun kesadaran dalam memilah dan memilih tontonan yang layak atau tidak layak dikonsumsi. "Selain menjadi perhatian pihak media atau televisi, warga tentunya sudah harus cerdas memilah dan memilih tayangan. Sehingga dengan kesadaran yang tinggi, mereka tak serta-merta melahap mentah-mentah tayangan televisi, khususnya untuk orang tua," ujarnya.
Pakar media massa Universitas Islam Sunan Gunung Djati, Bandung, Asep Saeful Muhtadi, mengatakan perlu adanya sinergi antara media, KPID, dan pemerintah guna mengentaskan masalah tersebut. Membangun kesadaran masyarakat, kata dia, bukan perkara mudah. Namun, dengan adanya sinergi dari stakeholder itu, kesadaran masyarakat dalam melakukan proses seleksi pemilahan tontonan yang layak atau tidak akan menjadi suatu keniscayaan.
"Media, bagaimanapun, harus berpikir komersial. Tidak mungkin-lah kalau tidak berpikir komersial, tapi di satu sisi pun harus bisa menyuguhkan sesuatu yang berkualitas. Karena itu, media bisa merancang yang marketable di satu sisi, tapi tetap memperhatikan aspek-aspek kearifan lokal dan memperhatikan dimensi etis pada masyarakat," katanya.
Sebetulnya, kata Asep, KPID berhak mengeluarkan regulasi yang mengatur masalah tontonan yang layak atau tidak layak dikonsumsi masyarakat. Namun pintu dialog tetap terbuka agar tidak ada salah satu pihak yang dirugikan. "Caranya harus tetap demokratis, tidak seperti ketika masa Orde Baru, asal main bredel saja," ucap Samuh—panggilan akrab Asep.
Urusan layak atau tidak layak dikonsumsi masyarakat pun, kata Samuh, setidaknya harus tetap berlandaskan pada dua hal, yakni aspek etika yang sesuai dengan norma yang berlaku dan tetap mempertahankan aspek sosiologisnya.
"Salah satunya media itu berfungsi mendidik, media apa pun itu memiliki peran untuk mendidik masyarakat. Mendidik juga itu tidak bisa asal mendidik, tapi harus mengedepankan kearifan lokal salah satunya," katanya. "Kearifan lokal itu salah satunya yang harus menjadi perekat antara peran mendidik bagi kepentingan masyarakat dan kepentingan media," katanya.
Sumber: Tempo
0 Response to "Ratusan Program Televisi Tidak Layak Ditonton"
Post a Comment