Dibutuhkan
kebersamaan dan pemahaman bagi pasangan suami istri. Tak dikenal
tugas istri dan suami ketika menyangkut pekerjaan rumah. Alangkah indah bila
antar keduanya saling berbagi peran dan melengkapi.
Hal-hal
yang lazim dikatakan sebagai tugas keseharian istri, dalam Islam sesungguhnya
itu adalah kewajiban suami untuk memenuhinya. Semisal berbelanja ke pasar,
menyediakan makanan, mencuci, berberes rumah, dan sejenisnya.
Bukan berarti istri tidak boleh melakukan, akan tetapi
hal tersebut bukanlah kewajiban istri semata-mata. Suami semestinya jauh lebih
menyayangi istri yang melakukan pekerjaan-pekerjaan yang seharusnya menjadi
kewajiban suami tersebut.
Sayangnya, kita sering menemukan hal aneh dalam banyak rumah
tangga. Misalnya saja, suami menyerahkan gajinya kepada istri setiap bulannya,
setelah itu semua kewajiban suami harus dibayarkan istri dari uang gaji
tersebut.
Kalau masih ada sisanya, tetap saja itu bukan lantas jadi
hak istri. Dan yang paling celaka, kalau kurang, istri yang harus berpikir
tujuh keliling untuk mengatasinya. Bukankah ini sangat memberatkan istri?
Dalam Islam, suami lah yang memiliki kewajiban untuk
menafkahkan istri bahkan ada yang mengatakan sampai pada level menyuapi makanan
ke mulut istri.
Lebih lengkapnya, mari kita simak langsung pendapat 5
Mazhab Fiqih tentang hal ini:
Ternyata 4 mazhab besar plus satu mazhab lagi yaitu
mazhab Dzahiri semua sepakat mengatakan bahwa para istri pada hakikatnya tidak
punya kewajiban untuk berkhidmat kepada suaminya.
Mazhab Hanafi misalnya, Al-Imam Al-Kasani dalam kitab
Al-Badai’ menyebutkan: Seandainya suami pulang bawa bahan pangan yang masih
harus dimasak dan diolah, lalu istrinya enggan untuk memasak dan mengolahnya,
maka istri tidak boleh dipaksa. Suaminya diperintahkan untuk pulang membaca
makanan yang siap santap.
Di dalam kitab Al-Fatawa Al-Hindiyah fi Fiqhil Hanafiyah
disebutkan: Seandainya seorang istri berkata,”Saya tidak mau masak dan membuat
roti”, maka istri itu tidak boleh dipaksa untuk melakukannya. Dan suami harus
memberinya makanan siap santan, atau menyediakan pembantu untuk memasak
makanan.
Pandangan Mazhab Maliki, khususnya dalam kitab
Asy-syarhul Kabir oleh Ad-Dardir disebutkan: wajib atas suami berkhidmat
(melayani) istrinya. Meski suami memiliki keluasan rejeki sementara istrinya
punya kemampuan untuk berkhidmat, namun tetap kewajiban istri bukan berkhidmat.
Suami adalah pihak yang wajib berkhidmat. Maka wajib atas suami untuk
menyediakan pembantu buat istrinya.
Mazhab As-Syafi’I, khususnya dalam kitab Al-Majmu’ Syarah
Al-Muhadzdzab karya Abu Ishaq Asy-Syirazi rahimahullah, ada disebutkan: Tidak
wajib atas istri berkhidmat untuk membuat roti, memasak, mencuci dan bentuk
khidmat lainnya, karena yang ditetapkan (dalam pernikahan) adalah kewajiban
untuk memberi pelayanan seksual (istimta’), sedangkan pelayanan lainnya tidak
termasuk kewajiban.
Demikian pula Mazhab Hanabilah megemukakan seorang istri
tidak diwajibkan untuk berkhidmat kepada suaminya, baik berupa mengadoni bahan
makanan, membuat roti, memasak, dan yang sejenisnya, termasuk menyapu rumah,
menimba air di sumur. Ini merupakan nash Imam Ahmad rahimahullah. Karena
aqadnya hanya kewajiban pelayanan seksual. Maka pelayanan dalam bentuk lain
tidak wajib dilakukan oleh istri, seperti memberi minum kuda atau memanen tanamannya.
Dan Mazhab Az-Zhahiri yang dipelopori Daud Adz-Dzahiri
ini, kita juga menemukan pendapat para ulamanya yang tegas menyatakan bahwa
tidak ada kewajiban bagi istri untuk mengadoni, membuat roti, memasak dan
khidmat lain yang sejenisnya, walau pun suaminya anak khalifah.
Suaminya itu tetap wajib menyediakan orang yang bisa
menyiapkan bagi istrinya makanan dan minuman yang siap santap, baik untuk makan
pagi maupun makan malam. Serta wajib menyediakan pelayan (pembantu) yang
bekerja menyapu dan menyiapkan tempat tidur.
Pendapat Berbeda
Namun kalau kita membaca kitab Fiqih Kontemporer Dr.
Yusuf Al-Qaradawi, beliau agak kurang setuju dengan pendapat jumhur ulama ini.
Beliau cenderung tetap mengatakan bahwa wanita wajib berkhidmat di luar urusan
seks kepada suaminya.
Dalam pandangan beliau, wanita wajib memasak, menyapu,
mengepel dan membersihkan rumah. Karena semua itu adalah imbal balik dari
nafkah yang diberikan suami kepada mereka.
Namun satu hal yang jangan dilupakan, beliau tetap
mewajibkan suami memberi nafkah kepada istrinya, di luar urusan kepentingan
rumah tangga. Artinya, istri mendapat 'upah' materi di luar uang nafkah
kebutuhan bulanan.
Jadi para istri harus digaji dengan nilai yang pasti oleh
suaminya. Karena Allah SWT berfirman bahwa suami itu memberi nafkah kepada
istrinya. Dan memberi nafkah itu artinya bukan sekedar membiayai keperluan
rumah tangga, tapi lebih dari itu, para suami harus ‘menggaji’ para istri. Dan
uang gaji itu harus di luar semua biaya kebutuhan rumah tangga.
Demikianlah betapa Islam meninggikan wanita dalam rumah
tangga, dan dengan demikian menjadi masuk akal ketika wanita dilaknat akibat
tidak memenuhi hasrat biologis suaminya, saking begitu besarnya kewajiban suami
dalam menafkahi istri.
Semoga postingan ini bermanfaat dan menambah cinta dan
penghargaan antar pasutri dalam rumah tangga.
Sumber: Ummi
0 Response to "Suami Tak Bisa Bebankan Tugas Rumah Tangga kepada Istri"
Post a Comment