M
eninggalkan keluarga dan tanah kelahiran tentu memiliki
cita-cita bagi tambahan kesejahteraan. Dengan penuh dedikasi, perempuan Solo
ini akhirnya menjadi guru.
Menjadi transmigran adalah pilihan kehidupan bagi Tri Harjani
dan suami serta anak balitanya. Namun, di tanah seberang, hidup Tri menjadi
lebih bermakna. Tak hanya untuk keluarga tapi juga untuk banyak orang.
Berkehendak mengubah nasib, Tri yang lahir di Solo, Jawa Tengah,
pada 24 Desember 1972, harus rela bersama suami tercinta menjadi transmigran.
Pada tahun 1996 silam, Tri memulai kehidupan yang serba baru di Kabupaten Tebo,
yang berlokasi sekitar 7 jam dari Jambi, ibu kota Provinsi.
Menjadi transmigran memang tak gampang. Pemerintah kala itu
hanya menyediakan lahan mentah. Para transmigran lah yang harus mengolah
sendiri tanah tersebut agar bisa menghasilkan.
Tri mengenang, di tahun-tahun awal sebagai transmigran sering
membuatnya khawatir. Bagaimana tidak, daerahnya begitu sepi, pohon besar dan
semak belukar ada di sana-sini. Bahkan, Tri begitu ngeri membayangkan Sungai
Batanghari yang demikian lebar membelah tanah Jambi.
“Solo tidak sesepi Tabo. Belum lagi jarak ke pasar sangat jauh
dan tak ada sekolah,” cerita Tri.
Dunia baru itu sering membuat Tri ragu. Apakah dia dan
keluarganya bakal bisa bertahan di Tabo?
Tri melanjutkan ceritanya, “Lingkungan benar-benar masih
berantakan. Pohon-pohon hasil pembukaan lahan masih berserakan. Saya ingin
nangis saja rasanya”.
Tahun pertama merupakan masa paling sulit bagi Tri. Namun, dia
bertekad untuk bertahan. Dia yakin kehidupan keluarganya bakal membaik. Saat di
Solo, suaminya hanyalah pencatat meteran listrik dengan gaji yang jauh
dari sekadar cukup.
Tak hanya tanah transmigran yang belum cukup menghasilkan.
Kehidupan sosial di lingkungan transmigran juga belum tertata, terutama soal
pendidikan.
Banyak anak-anak yang tidak sekolah. Tri membayangkan nasib
pendidikan anaknya kelak yang kala itu masih berusia dua tahun.
Dari situlah, saat ditawari mengajar di Sekolah Dasar, Tri
langsung setuju. Padahal dia tak tahu apa-apa soal pendidikan.
Dia hanya tamatan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Dia paham
soal adminitrasi keuangan, tapi tak terbayangkan bagaimana caranya menjadi
guru.
“Saya hanya mengingat-ingat saja apa yang dilakukan guru saya.
Dari situlah saya mulai mengajar anak-anak,” kenangnya.
Selama setahun ia mengajar di sekolah yang menumpang di balai
desa dan rumah-rumah penduduk. Kabar baik pun datang, pada tahun berikutnya
berita mengenai pemerintah akan membangun sekolah dasar di Te bo terdengar.
Sekolah dasar tersebut kemudian menjadi SDN 201/VII Penang Belai.
Pemerintah pun tak tinggal diam. Melihat Tri yang menjadi guru
perintis di SDN itu, Kementerian Transmigrasi mengganjarnya dengan beasiswa
untuk kuliah diploma guru di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
Jambi.
Masa kuliah itu, benar-benar digunakan Tri untuk meningkatkan
keterampilan mengajar. Berbekal gelar diploma tak membuat Tri berhenti menggali
ilmu pendidikan.
Bagi Tri, bersekolah harus menyenangkan, karena itu suasana
kelas tidak boleh membosankan dan monoton. Siswa harus aktif di dalam kelas.
Namun, bagaimana caranya?
Gayung bersambut. Harapan Tri disambut oleh Tanoto Foundation.
Pada 2010 lalu, yayasan milik keluarga pengusaha nasional Sukanto Tanoto ini
mempunyai program Pelita Pendidikan.
Program ini didedikasikan untuk meningkatkan mutu pendidikan di
sekolah, khususnya di SDN 201/VII Pinang Belai. Melalui program Pelita
Pendidikan, Tri mendapat pelatihan metode belajar inovatif, belajar aktif,
kreatif, efektif, tetapi menyenangkan.
“Seandainya dari dulu saya tahu ada metode belajar aktif,
inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan seperti yang diajarkan oleh Tanoto
Foundation, tentu saya dengan senang hati menerapkannya. Metode ini membuat
saya lebih menikmati dalam mengajar dan anak pun tidak mudah bosan,” kata Tri,
yang memperoleh gelar sarjana dari Universitas Terbuka pada 2010.
Pelatihan dari Tanoto Foundation itu membangkitkan gairah dan
semangat Tri sebagai pendidik. Dia juga semakin haus ilmu. Oleh sebab itu, di
manapun Tanoto Foundation mengadakan pelatihan, Tri selalu hadir, meski harus
menempuh perjalanan puluhan kilometer.
Tri mengisahkan, suatu ketika dia harus mengikuti pelatihan di
suatu daerah yang diselenggarakan Tanoto Foundation. Namun, di tengah
perjalanan karena buruknya kondisi jalan, mobil yang ditumpangi Tri rusak.
“Saya tetap meneruskan perjalanan ke tujuan, meski harus jalan kaki hingga lima
kilometer,” ujarnya
Kini, selain mengajar di sekolah, Tri diberi kesempatan menjadi
fasilitator lokal program Pelita Pendidikan. Dengan menjadi fasilitator, ia
jadi lebih mengerti kebutuhan para guru di lapangan. Dari situlah Tri membantu
dengan pengetahuan dan keterampilan ia dapatkan dari berbagai pelatihan Tanoto
Foundation.
Pelatihan dari Tanoto Foundation membuat kecintaan Tri terhadap
dunia pendidikan terus tumbuh. Semangat belajarnya tak pernah padam. Ia
berencana untuk tetap tinggal di Tebo bersama keluarganya dan tak akan memupus
cita-cita untuk menempuh pendidikan S2.
Ke depannya, Tri akan tetap semangat berbagi ilmu kepada lebih
banyak murid dan guru.
Sumber: Kompas
0 Response to "Tri Harjani: Guru Transmigran yang Menginspirasi"
Post a Comment