Kini, orang bisa "belajar" agama dari berbagai media. Juga kepada sejumlah orang. Namun belajar kepada kalangan yang memang pas dan pantas, tentu lebih baik.
Kitab Al-Ibriz adalah kitab tafsir Al-Quran 30 juz karangan abah beliau, yakni KH Bisri Musthofa. Kitab ini ditulis dengan bahasa Jawa lewat huruf Arab pegon, namun versi Bahasa Indonesianya telah banyak beredar di toko-toko buku nasional.
Jamaah berdatangan dari berbagai sudut kota Rembang, Pati, Blora bahkan Semarang. Sebagian besar dari mereka berprofesi sebagai petani, nelayan dan pedagang kecil. Mereka mengenakan pakaian yang begitu bersahaja khas masyarakat cilik daerah pesisir.
"Kenapa kok ikut ngaji, Pak?" tanya saya pada seorang nelayan berbaju batik sederhana.
"Ya...apa ya, Mbak. Buat ngademin hati," jawabnya.
Pagi itu, Gus Mus mendaras tafsir Surat Qiyamat. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa krama, campuran antara ngoko alus dan krama inggil. Di tengah kajian, Gus Mus berkelakar sambil memberi kritik pada sistem pendidikan masa kini yang menurut beliau tidak masuk akal.
"Anak-anak zaman sekarang berangkat sekolah membawa tas yang nampak berat sekali hingga terbungkuk-bungkuk. Pulang sekolah masih ada les. Ujiannya juga ada banyak. Kok kasihan sekali. Mereka itu kan harusnya banyak bermain-main," sentil Gus Mus.
Setelah acara pengajian tiap Jumat itu, biasanya Gus Mus akan menerima para tamu yang masih ingin berbincang dalam suasana yang lebih akrab di ruang tamu rumah utama hingga masuk waktu salat Jumat.
Perjumpaan Sederhana
Saya mencintai Islam lewat perjumpaan sederhana semacam itu. Melihat Gus Mus saat menjumpai masyarakat kecil dengan bahasa mereka, tidak tampak bahwa beliau sosok yang begitu disegani oleh berbagai macam akademisi dan budayawan seperti Amin Abdullah, Dawam Raharjo, Azyumardi Azra, Emha Ainun Najib, Mohamad Sobary, Habib Luthfi Bin Yahya dan lain-lain sebagai seorang doktor honoris causa di bidang kebudayaan Islam.
Demikian pula dengan keponakan kesayangan Gus Mus, KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya). Mantan juru bicara Presiden Gus Dur, sekaligus tokoh PBNU yang aktif dalam konferensi-konferensi internasional mengampanyekan konsep Islam Nusantara agar menjadi rujukan Islam rahmatan lil alamiin bagi warga dunia itu, menjadi sosok yang sama sekali lain ketika berbicara di depan wong cilik.
Di Eropa, Gus Yahya berbicara dalam bahasa Inggris soal Islam sebagai alternatif penjaga peradaban hubungan internasional yang masih dilanda banyak perang. Tapi, di pesantren ia seorang kiai yang mengajar, dan juga mengadakan pengajian kitab mingguan untuk masyarakat umum.
Dalam sebuah acara akhirussanah, atau masa kenaikan kelas bagi santri pondok pesantren, ia juga mengisi ceramah dalam bahasa Jawa krama inggil untuk orangtua santri yang berasal dari keluarga menengah ke bawah. Padahal, krama inggil, dalam bahasa Jawa adalah strata tertinggi penghormatan untuk lawan bicara.
Topik yang ia ajukan kepada orangtua santri pun jauh dari persoalan yang tidak mereka mengerti. Gus Yahya tidak mengajak mereka untuk berjihad di Suriah. Ia tidak pula menerangkan situasi politik tertentu meskipun ia juga aktif dalam salah satu partai.
Dalam ceramahnya, ia berkata bahwa orangtua mesti mendukung anaknya belajar di pondok pesantren. Tujuan dari belajar di pondok pesantren bukan semata agar anak menjadi pintar, namun juga beradab. Ia mencontohkan sebuah budaya pop yang keliru, misalnya seminar yang menjanjikan seseorang dapat menghafal al-Quran dalam 30 hari.
Fenomena lain, seperti gawai-gawai yang memuat konten-konten Islami yang marak dijadikan medium belajar Islam untuk anak-anak masa kini. Meskipun baik, kelak anak-anak tetap harus belajar langsung dari guru agar mengerti soal adab.
"Kalau sudah sampai kitab Alfiyyah, jangan sampai lupa pada guru yang mengajar kitab Jurumiyah dan kitab Maqshud. Bahkan, jangan lupa mendoakan guru yang mengajarkan kita a-ba-ta."
Sambil bercerita soal kepiawaian almarhum Nurcholish Madjid berpidato bahasa Arab, ia menjelaskan bahwa belajar bahasa Arab itu penting sebab tidak dimungkiri al-Quran dan segala pesan Nabi menggunakan bahasa Arab. Tapi, ia melanjutkan pesan kepada para orangtua santri, "Jika putra-putri sampeyan tidak sampai bisa pidato bahasa Arab ya tidak apa-apa. Wong masyarakat kita pakainya bahasa Jawa. Biar mereka berdakwah dengan bahasa yang dimengerti masyarakat."
Dan, pada akhir ceramah tentu saja ia menekankan soal kerukunan hidup bersama. Para teladan itu, jika pun menerangkan perihal kewajiban beribadah, sebisa mungkin menyampaikan dengan konsep bahwa manusia yang lemahlah yang butuh salat, puasa, zakat dan kewajiban lainnya.
Konsep ibadah adalah perjalanan mendapat ketenangan batin menuju Tuhan, hingga Tuhan bermurah hati menjadi cermin yang akan memancarkan kebaikan yang memberi kita energi untuk bekerja dan berbuat kebaikan sehari-hari. Lewat asumsi itu, tentu saja Tuhan menjadi sesuatu non-materiil yang tidak butuh pembelaan siapa pun. Apalagi, berteriak "Allahu Akbar" hanya untuk memuaskan syahwat politik.
Saya memang mencintai Islam dari teladan sederhana semacam itu. Lewat laku mereka, agama tidak tampak sebagai pesan berat dan keras yang harus kita panggul di punggung hingga membuat kita tertatih. Pada awalnya, kita memiliki takdir untuk hidup di muka bumi ini. Islam memang mestinya datang untuk memberi kita semangat serta etos kerja yang baik, juga menjadi panduan yang paling indah ketika kemanusiaan diguncang.
Kalis Mardiasih menulis opini dan menerjemah. Aktif sebagai periset dan tim media kreatif Jaringan Nasional Gusdurian dalam menyampaikan pesan-pesan toleransi dan kampanye #IndonesiaRumahBersama. Dapat disapa lewat @mardiasih.
Sumber: Detik
0 Response to "Memahami Islam dari Sosok Sederhana"
Post a Comment