Sejumlah ikhtiar dilakukan asal bisa mengumpulkan dana dari hasil yang halal
untuk berangkat ke Tanah Suci. Dari mulai tukang pijat hingga pengumpul barang bekas.
“Profesi” itu dilakoni hingga ke Malaysia sebagai TKI. Berikut kisahnya
sebagaimana ditulis Tribunnews.
Sudah lama cita-cita Murip mengenakan pakaian ihram, menjadi tamu Allah untuk menunaikan ibadah haji. Meski hidupnya miskin, nenek berusia 61 tahun itu pantang mengendurkan niatnya yang sudah ia pupuk sejak lama.
”Aku kepingin haji, nek mati dosaku cik disepuro karo gusti Allah (saya mau naik haji, kelak mati dosa saya Allah maafkan),” Murip menceritakan keinginannya saat ditemui wartawan Surya, Hanif Manshuri, di rumahnya.
Seperti kebanyakan tetangga desanya di Bulubrangsi, Solokuro, mulai berkecukupan sekian tahun usai memburu ringgit ke Malaysia. Begitulah Murip melanglang ke negeri jiran, mencari pengharapan sebagai modal untuk menunaikan rukun Islam kelima.
Bersama para lelaki asal desanya, sekira 2005 ia berangkat ke Malaysia. Nasib mereka sama: warga miskin. Urusan paspor Murip percayakan kepada tetangganya yang sama–sama mengadu untung ke Malaysia.
Tanpa modal pendidikan dan kemampuan, mau apa Murip di Malaysia apalagi usia sudah menua? Sederhana saja, memulung dan menjadi tukang pijat selama di kampung halamannya di Lamongan, begitulah yang Murip andalkan di Malaysia.
Berbilang hari, bulan dan tahun, Murip selalu berusaha sesuai kebiasaannya secara tekun. Idamannya melihat Kakbah menjadi penguat Murip mencari botol bekas dan barang apapun yang bisa didaur ulang dan dijual, asalkan halal.
Di atas semua ikhtiar itu, tak pernah Murip menanggalkan shalat sunah, apalagi yang wajib. Ia tak peduli orang memandangnya hina. Selagi badan dan tenaganya masih bisa untuk berkerja, apapun ia lakukan siang malam.
“Aku di Malaysia ya tetap jadi pemulung. Aku tidak bisa kerja apa selain itu. Aku juga menjadi tukang pijat kepada siapa pun yang memintanya bantuan,” cerita Murip.
Praktis ketika buruh migran asal Indonesia, apalagi tak berdokumen, selalu dipandang miris oleh Polis Diraja Malaysia, tak demikian Murip. Keluguan dan kejujuran Murip membuatnya selalu mendapat perlakuan baik.
“Katanya pak kiai, uang untuk berangkat haji itu harus benar–benar halal. Jadi saya juga tidak mau sampai meminta–minta,” kata Murip.
Bukan persoalan mudah memulung barang yang dapat dijual lalu menghasilkan uang. Kadang dua hari sekali Murip baru mendapatkan barang rongsokan. Satu kali ia mendapat mendapat sampai satu pick up. Setelah terkumpul, barang itu diangkut ke pengepul.
”Alhamdulilah, saya tidak perlu menyewa angkutan. Karena ada orang Cina di Malaysia yang selalu memberikan pinjaman mobil dan sopirnya untuk mengangkut barang saya secara gratis,” kata dia.
Semua yang diperbuatnya Murip percaya berkat sikap jujur dan juga selalu ingat kepada Allah dan menjalankan semua perintah-Nya. Di setiap shalat, dan di sepertiga malam, selalu Murip mendaraskan doa agar bisa menunaikan haji sebelum berkalang tanah.
Saban menyetorkan barang rongsokan ke pengepul, Murip rutin membawa satu tundun pisang matang dan air mineral kemasan gelas satu dus untuk ke masjid. Kedatangannya selalu menjadi kabar gembira bagi anak-anak yang tergiur pisang bawaannya.
"Alhamdulillah setelah itu selalu banyak barang (mulung, red) yang saya dapatkan,” kenangn Murip.
Sedikit demi sedikit uang yang terkumpul ia kirimkan ke Ghozali, tetangganya di Lamongan yang membantunya untuk mendaftarkan sebagai jemaah calon haji. Saat itu masih ada dana talangan haji. Ia juga masih menyisihkan kiriman uang anak dan cucunya di rumah.
Suami sudah meninggalkan keempat anak-anak Murip sejak kecil. Selama itulah ia harus menjadi tulang punggung terdepan keluarga seorang diri. Ia terbantu oleh program dana talangan haji. Uang yang sudah terkumpul Rp 20 juta, Ghozali langsung daftarkan atas nama Murip ke BNI pada 18 Januari 2010.
Begitu uang yang dititipkan Ghozali sudah terkumpul, Murip langsung pulang dari Malaysia kebetulan paspornya yang berusia lima tahun sudah habis. Ia mendapat nomor porsi 1300399082 usai terdaftar sebagai peserta haji.
Kembali ke kampungnya di Lamongan ia tetap mencari tambahan agar bisa ke Tanah Suci, dengan memulung dan memijit.
Tak sia-sia ikhtiar dan doanya selama ini. Saat ada pemberitahuan pelunasan dana haji 2016, Murip mampu membayar tambahan Rp 15, 5 juta. Seluruh biaya itu ia usahakan sendiri lewat tenaga dan keringatnya, tanpa perlu berharap pada pemberian orang, apalagi meminta-minta.
Murip sudah terdaftar untuk menunaikan ibadah haji, tapi tak punya rumah. Kepala Desa Bulubrangsi yang peduli lalu memberikan bantuan bedah rumah, akhirnya Murip menempati tanah GG desa. Listrik rumah pun menumpang dari tetangga.
“Alhamdulillah Pak Kadesnya baik, rumah saya ini juga dibantu Pak Kades lewat program bedah rumah. Tanahnya juga milik negara,” tanpa ragu Murip bersyukur atas kebaikan tersebut. Ia serumah dengan cucunya, Nadia.
Perihal Murip segera berangkat haji begitu cepat tersiar. Semua warga Bulubrangsi jadi tahu, tahapan manasik pun sudah Murip laksankaan di salah satu kelompok bimbingan ibadah haji di Lamongan.
Menjelang waktu keberangkatan, Murip masih mengisi hari-harinya memulung dan menjadi tukang pijat. Uang hasil menjual barang rongsokan semisal botol plastik bekas, kardus, kertas dan potongan besi ia pakai untuk kebutuhan sehari–hari dan uang saku cucunya yang duduk di bangku kelas lima madrasah itu.
“Saya tidak malu, yang penting tidak mencuri. Saya percaya kok, kalau saya baik dengan orang, rezeki pasti akan gampang didapatkan,” begitu prinsip hidup Murip yang ia pegang teguh.
Lumrahnya orang yang bakal naik haji sibuk mempersiapkan barang-barang, Murip hanya berdoa, berharap Allah memberikan kesehatan sampai mempurnakan segala rukun haji seperti yang Nabi Muhammad SAW dulu lakukan.
Murip sungguh murah hati, selagi diajak mengobrol ia menyempatkan memijat-mijat pundak dan bahu wartawan Surya sambil menyelipkan doa agar bisa melaksanakan umrah dan haji.
"Ayo, ayo nak, ke rumah Pak Kades. Nanti biar saya tidak disalahkan, ada tamu kok tidak memberi tahu Kades,” kata Murip mengajak Surya.
Ia tak ingin disalahkan karena tak melapor jika ada tamu ke rumahnya. Setibanya di rumah pak kades, hanya ada istrinya, Vivi. Ia membenarkan Murip akan naik haji. Orang-orang sampai ada yang sudah memanggilnya kaji (haji).
Hati Murip sekarang sudah plong, harta wadag memang tak banyak. Keinginannya melihat Kakbah sambil mengucap Labbaik Allah Humma Labbaik, Labbaik Laa Syarika laka Labbaik segera terwujud.
Sumber: Surya
0 Response to "Cerita Nenek Murip: Naik Haji dari Pemulung dan Pemijat"
Post a Comment